Menjalani pengobatan TBC saat hamil, sangat menantang bagi Jumayati. Sebagai pasien TB RO, ia kembali harus minum obat langsung dari rumah sakit. Sering kali ia naik ojek dari Bekasi hingga Rawamangun hanya untuk minum obat. Batuk berdarah terus dialaminya beberapa kali di masa pengobatan itu. Tak jarang pula, batuk berdarah datang saat malam hari. Kalau sudah seperti itu, Jumayati akan langsung diantar ke rumah sakit, dan akhirnya harus menjalani rawat inap. Tidak jarang pula HB darahnya dinyatakan rendah saat hamil. Ia pun beberapa kali harus transfusi darah karena kondisinya itu. "Selama alami TBC RO pada 2016, aku bolak balik dirawat di rumah sakit," katanya.
Tantangan lain yang menjadi masalah adalah berat badannya yang cukup kecil. Kala hamil, berat badannya hanya 50 kilogram. Sebagai pasien TBC yang sedang hamil, Jumayanti dipantau sangat ketat oleh para dokter dari berbagai spesialisasi. Ada dokter spesialis paru yang memantau perkembangan masalah TBC yang dialaminya, ada pula dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang memantau perkembangan janinnya. Selain itu, ada pula dokter gizi yang memantau kondisi asupan gizinya.
Pengobatan TBC yang dilakukan selama hamil, kata Jumayati, lebih banyak dilakukan dengan obat oral. Namun ketika wanita ini sudah melahirkan, pengobatan TBC dilakukan selain obat oral, ada pula dengan obat suntik.
Perjuangan Jumayati melawan TBC setelah melahirkan belum berhenti. Oleh dokter, ia tidak dibolehkan memberikan air susu ibu untuk anaknya. Beberapa saat setelah melahirkan pun, berat badannya terus turun hingga 27 kilogram. Akibatnya, ia tidak boleh menggendong anaknya, karena khawatir ia tidak berdiri dengan stabil. Sehingga suami dan orang tuanya lah yang merawat bayinya yang baru lahir.
Ilustrasi kuman tuberculosis atau TBC (pixabay.com)
TBC yang menular lewat udara, membuatnya wajib menggunakan masker sepanjang hari selama di rumah. Ia pun tidak boleh dekat-dekat dengan anak-anaknya. Ia juga tidak boleh bersosialisasi dengan tetangga karena khawatir menularkan penyakit tersebut.
Tantangan untuk meminum obat pun terus terjadi. "Saking banyaknya obat yang harus diminum, rasanya itu seperti ngefly. Pusing dan mual saat minum obat itu terus bermunculan. Belum lagi terkadang jadi halusinasi dan juga depresi," katanya.
Jumlah obat yang ia minum selama menjalani pengobatan TBC RO pun tidak main main. Saat hamil, ia hanya minum 9 butir obat per hari. Setelah melahirkan, ia mengkonsumsi 17 butir obat setiap hari. Demi bisa terus menelan obatnya, Jumayati mencari berbagai cara. Terkadang ia mengkonsumsi obat dengan pisang, lain waktu itu sambil ngemil makanan lain. "Rasanya sudah enek sekali minum obat. Tapi semua harus ditelan. Bahkan kalau muntah, minum obatnya harus mulai dari awal lagi," katanya mengenang masa itu.
Perlahan tapi pasti, hasil pengobatannya membuahkan hasil. Berat badannya terus naik secara berkala. "Naiknya setiap bulan satu kilogram, sampai akhirnya pada bulan ke-20, berat badan aku mencapai 55 kilogram. Naik terus sampai sekarang sekitar 60 kilogram," katanya.
Ia merasa beruntung mendapatkan sistem pendukung yang baik dalam menjalani pengobatan TBC. Suaminya, terus menyemangatinya dan mau mengantarnya untuk berobat ke RS Persahabatan di sela-sela ia mencari nafkah. Tidak jarang pula suaminya mengurus pekerjaan rumah, saat kondisi Jumayati yang terkadang sangat lemah. Orang tua dan mertua nya pun mau ikut membantu mengurus anak-anak Jumayati ketika ia harus menjaga jarak agar tidak menularkan penyakit ini ke buah hati. "Yang menguatkan hari-hari saya ya keluarga. Saya mau sembuh dan mau sehat demi anak-anak saya," katanya tidak putus harapan.
Setelah dinyatakan sembuh dari TBC, Jumayati aktif memberikan pendampingan kepada pasien TBC lain. Pengetahuannya dan pengalamannya berperang melawan TBC kerap menjadi penyemangat pasien TBC lain untuk tidak putus menjalani pengobatan. "Biasanya aku diminta menjadi pendamping pasien TBC yang sedang hamil. Jumlah mereka saat ini pun semakin banyak," kata Jumayati yang saat ini menjabat sebagai Ketua PETA (Pejuang Tangguh) Jakarta. Organisasi PETA terdiri dari para penyintas TBC RO.
Jumayati adalah satu dari ribuan kasus pasien TBC di Tanah Air. Indonesia sendiri adalah negara ketiga dengan kasus TBC terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Indeks kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 824 ribu kasus per tahun dengan jumlah kematian mencapai 93 ribu per tahun