Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi mengatakan timnya terus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi TBC di Indonesia. Salah satu capaiannya adalah kasus TBC yang tidak terlaporkan terus menurun. Di tingkat non puskesmas, misalnya, kasus yang tidak terlaporkan saat ini diperkirakan hanya 19,6 persen. Padahal dibanding 2017, angkanya mencapai 70,7 persen. "Artinya semakin berkurang jumlah kasus TBC yang terdeteksi tapi tidak terlaporkan di sistem surveillance nasional," kata Imran dalam acara Dialog nasional: Lika-Liku Public-Private Mix pada 24 Juli 2024.
Imran pun menambahkan ada 3 indikator sukses penanganan TBC yang selalu dipantau setiap bulan. Pertama adalah penemuan kasus, kedua rasio keberhasilan pengobatan, terakhir terapi pencegahan TBC (TPT) kontak serumah. Ketika persentase penemuan kasus dan rasio keberhasilan pengobatan mencapai 90 persen, terapi pencegahan TBC hanya mencapai 48 persen pada 2024. "Saat ini yang paling rendah itu, terapi pencegahan. Itu yang harus terus kita dorong bersama," katanya.
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Imran pun mengatakan saat ini tim Kementerian Kesehatan sudah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam mengatasi TBC di bawah payung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Hal ini sebagai acuan agar kementerian lembaga, pemerintah daerah provinsi serta kabupaten/kota, hingga perangkat desa serta pemangku kepentingan ikut terus melakukan upaya untuk menanggulangi TBC. "Aturan ini membuat Menteri Dalam Negeri absen dan minta kepala daerah aware (soal masalah TBC). Juga membuat dinas kesehatan mengejar ketertinggalan dalam mengatasi kasus TBC," katanya.
Saat ini, timnya sedang melakukan pembicaraan dengan World Bank soal pembiayaan penanggulangan TBC di tingkat fasilitas layanan kesehatan primer. "Kami sedang mencoba mekanisme insentif. Agar penderita TBC tidak perlu merujuk ke rumah sakit, jadi sebisa mungkin kasusnya diselesaikan di tingkat fasyankes primer. Hal ini mendekatkan pelayanan ke masyarakat," katanya.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Henry Diatmo mengingatkan penting agar ada komunikasi antar lembaga dalam menangani kasus TBC. "Pemerintah dan fasilitas layanan kesehatan perlu tingkatkan cara berjejaring mereka. Jangan sampai pasien merasa kecewa karena dioper-oper (ke puskesmas, atau ke rumah sakit), dalam penanganan TBC mereka," kata Henry.
Ilustrasi obat Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Ia pun mendukung adanya kerja sama antara Kemenkes dan Kemendagri dalam hal monitoring kasus TBC. Walau begitu, ia berharap kedua kementerian ini bisa lebih jeli memantau para kepala daerah dalam hal perencanaan dan penganggaran penanganan TBC. "Biasanya yang terjadi, anggaran kesehatan daerah meningkat, tapi anggaran mengatasi kasus TBC masih sangat kecil," katanya terus mempertanyakan para kepala daerah dalam komitmen atasi TBC.
Henry mengatakan, timnya pun sudah bekerja sama dengan Kementerian kesehatan dalam membuat wadah untuk menganalisa kebijakan pemerintah daerah dalam menangani TBC. "Namanya Policy Tracker. Kami mau tahu sejauh mana komitmennya. Sudah ada kebijakan TBC kah? Sudah sejauh mana? Kalau belum, kenapa?" kata Henry.
Ia berharap akan semakin banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang semakin fokus membuat kebijakan dalam atasi TBC di daerahnya masing-masing.
Pilihan Editor: Penularan TBC Anak Bisa Berawal dari Lingkungan Rumah dan Pentingnya Skrining